IV. OBJEK, TUJUAN DAN
PENDEKATAN LANGKAH-LANGKAH
A. Objek Kajian
Pada prinsipnya, objek
kajian metode tematik hanyalah hadis Nabi, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, dan
ketetapan maupun berupa keadaan atau sifat beliau sejak dibangkit menjadi
Rasulullah hingga wafatnya. Namun, dengan memperhatikan beberapa faktor yang
melatarbelakangi pentingnya metode tematik, maka objek kajian metode tematik (maudhu’i) adalah seluruh
pernyataan yang disebut dengan hadis, baik hadis marfu’, mauquf, maupun maqtu’;
baik yang sahih dan hasan maupun yang daif; baik yang tercantum dalam
kitab-kitab standar hadis maupun yang terdapat di berbagai kitab lainnya; baik
hadis yang bersifat qauliyah dan fi’liyah maupun yang bersifat taqririyah dan
keadaan atau sifat Nabi Muhammad saw, sahabat dan tabi’in. Demikian pula
ayat-ayat al-Qur’an yang diberi bayan oleh hadis Nabi.
Dilihat dari segi
aspeknya, maka obyek kajian metode tematik meliputi keseluruhan aspek kehidupan
manusia yang didasarkan pada ucapan, perilaku, dan karakter Nabi Muhammad saw,
terutama kaitannya dengan masalah-masalah aktual dan kekinian.
B. Tujuan
Berdasarkan uraian
sebelumnya, maka tujuan metode tematik dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Untuk mengungkapkan
kandungan hadis secara komprehensif;
2. Untuk merumuskan konsep-konsep
dasar berbagai masalah perspektif hadis secara komprehensif;
3. Untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang tampak bertentangan kaitannya dengan hadis;
4. Untuk mengetahui
perkembangan pemahaman hadis secara tekstual, intertekstual, dan kontekstual;
5. Untuk mengantisipasi
perkembangan zaman dengan memecahkan masalah-masalah aktual berdasarkan
petunjuk hadis;
6. Untuk memantapkan
eksistensi metode pengkajian hadis sebagai disiplin ilmu yang memenuhi
unsur-unsur kefilsafatan.
C.
Langkah-Langkahnya
Dalam prakteknya,
pengkajian hadis dengan metode tematik dilaksanakan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Menentukan tema atau
masalah yang akan dibahas;
2. Menghimpun atau
mengumpulkan data hadis-hadis yang terkait dalam satu tema, baik secara lafal
maupun secara makna melalui kegiatan Takhrij al-Hadits;
3. Melakukan kategorisasi
berdasarkan kandungan hadis dengan memperhatikan kemungkinan perbedaan
peristiwa wurud-nya hadis (tanawwu’) dan perbedaan periwayatan hadis (lafal
dan makna);
5. Melakukan penelitian
sanad, meliputi: penelitian kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para
periwayat yang menjadi sanad hadis bersangkutan, serta metode periwayatan yang
digunakan masing-masing periwayat.
6. Melakukan penelitian
matan, meliputi: kemungkinan adanya ‘illat (cacat) dan terjadinya syadz
(kejanggalan).
7. Mempelajari term-term
yang mengandung pengertian serupa sehingga hadis terkait bertemu pada suatu
muara tanpa ada perbedaan dan kontradiksi, juga “pemaksaan” makna kepada makna
yang tidak tepat.
8. Membandingkan berbagai
syarahan hadis dari berbagai kitab-kitab syarah dengan tidak meninggalkan syarahan kosa kata, frase, dan
klausa.
9. Melengkapi pembahasan
dengan hadis-hadis atau ayat-ayat pendukung dan data yang relevan.
10. Menyusun hasil
penelitian menurut kerangka besar konsep (grand concept) sebagai bentuk laporan hasil penelitian
dan sebuah karya penelitian atau syarahan hadis.
Langkah nomor 4, 5,
dan 6 dilakukan jika dibutuhkan, tetapi yang dibutuhkan dalam hal ini adalah
mengetahui kualitas hadis-hadis yang menjadi objek penelitian.
V. PENDEKATAN DAN TEKNIK INTERPRETASI
A.
Pendekatan
Untuk memenuhi maksud
dan mencapai tujuan, maka pengkajian hadis dan metode tematik memerlukan
pendekatan holistik dan multidisiplime. Pemanfaatan berbagai teori dan berbagai
disiplin ilmu, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, dan sejarah; sains
dan teknologi; bahan dan komunikasi dengan pendekatan yang menyertainya menjadi
sangat penting dalam rangka membuktikan hadis Nabi sebagai rahmat seluruh alam.
Pada sisi lain, sebuah hadis bilah
telah terbukti sebagai berasal dari Nabi Muhammad saw berarti ia merupakan
ajaran tentang kebaikan dan kebenaran. Karena itu, pengetahuan yang benar dan
baik mestilah sejalan dengan hadis Nabi dan bahkan memperkuat kebenaran hadis
Nabi.
Namun demikian, hemat penulis,
sekalipun pendekatan holistik dan multidisipliner dapat diterapkan dalam
pengkajian hadis dengan metode tematik tidaklah berarti tanpa pembatasan. Salah
satu pendekatan yang masih menjadi polemik dikalangan ulama dan cendekiawan
muslim adalah pendekatan hermeneutik.[2]
Tawaran hermeneutika
sebagai sebuah metodologi sangat realistis. Namun persoalannya tidak
sesederhana itu. Bagi penulis, walaupun banyak intelektual muslim menjadikan
seluruh bagian dari aspek-aspek Islam menjadi konsumsi hermeneutika dan tidak
menyisahkan satu bagian pun namun hal itu tidak berarti tanpa batas. Dalam
studi hadis, dikenal beberapa aspek kandungan hadis, antara lain: aqidah,
ibadah, muamalah, halal-haram, irsyad, eskatologis, dan lain sebagainya. Untuk
beberapa bagian di atas, memang sangat relevan untuk menjadikan hermeneutika
sebagai sebuah pendekatan, tetapi untuk hadis-hadis yang bersifat eskatologis
tidak sepenuhnya menjadi bagian hermeneutika. Informasi Nabi tentang gambaran
surga yang bersifat kenikmatan material itu dapat saja dianalisis; kenapa Nabi
menggambarkan surga seperti itu? Siapa yang menjadi mukhatab al-Hadis? Dan
pertanyaan-pertanyaan lain sekitar latar belakang lahirnya hadis. Namun, untuk
menjelaskan lebih jauh tentang keadaan surga, maka pendekatan hermeneutika
sulit untuk diterapkan. Karena tak seorang pun telah memiliki akses dan pengalaman tentang itu.
B. Teknik Interpretasi
Perlu dijelaskan bahwa
objek yang dapat diinterpretasi dalam pengkajian hadis adalah matan hadis,
meliputi kosa kata (termasuk partikel-partikel atau huruf), frasa, klausa, dan
kalimat.
Teknik interpretasi sebagai cara
memahami makna dari ungkapan verbal yang dapat dipergunakan dalam pengkajian
hadis secara tematik adalah sebagai berikut:
1. Interpretasi tekstual, yaitu interpretasi atau pemahaman terhadap
matan hadis berdasarkan teksnya semata dan/atau memperhatikan bentuk dan
cakupan mkna. Namun, teknik ini mengabaikan pertimbangan latar belakang
peristiwa (wurud) hadis dan dalil-dalil lainnya.
Dasar penggunaan teknik ini adalah bahwa setiap ucapan dan perilaku
Nabi Muhammad saw tidak terlepas dari konteks kewahyuan (Q.S. al-Najm: 3-4) dan
hadis-hadis beliau menjadi sumber hukum Islam (Q.S. al-Hasyr: 7).
Pendekatan yang dapat digunakan untuk teknik interpretasi tekstual
adalah pendekatan linguistik (lughawiy) dan teologis (kaidah-kaidah fiqh).
2. Interpretasi intertekstual (munasabah), yaitu interpretasi
atau pemahaman terhadap matan dengan memperhatikan hadis lain (tanawwu’)
dan/atau ayat-ayat
al-Qur’an yang terkait. Dasar penggunaan teknin ini adalah penegasan bahwa
hadis Nabi adalah bayan terhadap ayat-ayat al-Qur’an (Q.S.
al-Baqarah: 186 dan al-Nahl: 44) dan kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai sumber
hadis dengan keragamannya. Pendekatan yang
dapat digunakan untuk teknik interpretasi intertekstual adalah
pendekatan teologi-normatif.
3. Interpretasi kontekstual, yaitu interprestasi atau pemahaman terhadap matan hadis dengan
memperhatikan asbab al-wurud al-hadis (konteks di masa
rasul; pelaku sejarah, perisiwa sejarah, dsb) dan konteks kekinian (konteks
masa kini).
Dasar penggunaan teknik adalah bahwa Nabi Muhammad saw adalah teladan
yang terbaik, uswatun hasanah (Q.s. al-Ahzab:21)
dan beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam (Q.s. al-Anbiya:107). Ini berarti
bahwa hadis Nabi bukti kerahmatan beliau, sekalipun beberapa di antaranya
dianggap bertentangan dengan kemajuan zaman.
Pendekatan yang dapat digunakan untuk teknik interpretasi kontekstul
adalah pendekatan holistik dan multidisipliner atau beberapa pendekatan,
dan/atau pendekatan tertentu bagi disiplin ilmu kontemporer, seperti:
pendekatan historis, sosiologis, antropologis, hermeneutika, semiotik, dan semacamnya.
Dalam rangka memenuhi maksud dan tujuan
metode tematik dalam pengkajian hadis, maka sedap mungkin ketiga teknik
interpretasi diatas digunakan. Sebab, perbedaan natijah yang diperoleh tidaklah
berarti terjadinya pertentangan tetapi hal itu menunjukkan elastisitas dan
bukti kerahmatan hadis Nabi.
VI. KERANGKA ACUAN PENELITIAN
Untuk memudahkan penelitian
hadis dengan menggunakan metode tematik,
maka penulis merumuskan kerangka
acuan penelitian, meliputi: Tema atau Judul Penelitian; Masalah pokok;
Metodologi; Pengertian Istilah; Takhrij al-Hadis; klasifikasi Hadis; Kritik Hadis; Pemahaman (syarah) al-Hadis; dan Pengambilan Natijah.
Penjelasan singkat tentang sub-sub
pembahasan sebagai berikut:
1. Penetapan judul
a. Judul sebaiknya
ditetapkan setelah melakukan pra penelitian
b. Judul mencakup aspek
ontologi, epistemologi, dan aksiologi; atau salah satu diantaranya; dan atau
salah satu bagian dari salah satu aspek.
c. Judul harus singkat, padat, dan jelas.
2. Penetapan masalah Pokok
a. Masalah pokok dapat
berbentuk pertanyaan atau pernyataan.
b. Masalah pokok hanya terdiri dari satu dan
terdiri dari beberapa sub masalah.
c. Masalah pokok
mencerminkan judul yang akan dibahas;
3. Metodologi
a. Metode pendekatan
disesuaikan dengan tema yang dibahas.
b. Metode pengumpulan
data menggunakan metode takhrij.
c. Untuk menetapkan
pernyataan yang disebut hadis benar-benar berasal dari Nabi Muhammad saw
diperlukan metode kritik hadis.
d. Untuk memahami
kandungan hadis secara utuh dan komprehensif, maka digunakan teknik
interpretasi tekstual, intertekstual, dan kontekstual.
4. Pengertian Istilah
a. Dimaksudkan sebagai
pengantar untuk memperjelas istilah yang digunakan di dalam hadis Nabi, bukan
kajian ontologis.
b. Istilah yang digunakan
berfungsi sebagai acuan untuk melakukan takhrij.
c. Istilah yang digunakan
dapat lebih dari satu.
5. Takhrij al-Hadis
a. Metode yang digunakan
sebaiknya lebih dari satu.
b. Sebaiknya diawali
dengan metode maudhu’i, lalu diperkaya dan diperkuat dengan metode lafal (sharf).
c. Seluruh hadis yang
ditunjuk seyogyanya dilaporkan tempat pengutipannya.
6. Klasifikasi dan
kategorisasi
a. Klasifikasi dan
katagorisasi hadis disesuaikan dengan
perbedaan peristiwa hadis (tanawwu’)dan sub masalah.
b. Hadis –hadis yang
selafal atau yang semakna kandungannya, sebaiknya hanya dikutip satu lafal dan
yang lainnya dapat menajadi lampiran.
c. Jika memungkinkan
sebaiknya hadis-hadis diklasifikasi berdasrkan aspek-aspeknya (ontologis,
epistemologis, dan atau aksiologisnya).
7. Kritik hadis
a. Terdiri dari kritik
sanad dan matan.
b. Kritik hadis diawali
dengan kegiatan i’tibar al-sanad dan dilengkapi dengan
skema sanad. Kegiatan i’tibar berfungsi untuk mengetahui seluruh periwat
yang terkait dengan hadis yang sedang
diteliti.
c. Kritik sanad,
meliputi: penelitian tentang sejarah hidup periwayat; kualitas periwayat; dan
kapasitas intelektual periwayat/peneliti serta memperhatikan metode periwayatan
yang digunakan.
d. Kritik matan, meliputi: penelitian terhadap adanya syadz; penelitian terhadap
adanya ilat. Adapun caranya adalah meneliti kata per kata, kalimat per kalimat,
dan kandungannya untuk mengetahui adanya idraj, ziyadah, munqalib, mushahhaf, dan semacamnya.
8. Pembahasan (Fiqh
al-Hadis)
a. Analisis terhadap
kandungan hadis disesuaikan dengan klasifikasi dan katagorisasi serta sub
masalah.
b. Analisis dimaksudkan
untuk menjawab permasalan yang diajuakan.
c. Analisis hendaknya
tajam dan mendalam.
d. Analisis hadis dengan
pertimbangan bentuk matan dan cakupan petunjuknya.
e. Analisis hadis dengan
mempertimbangkan fungsi dan kedudukan Nabi Muhammad saw.;
f.
Analisis hadis dengan menghubungkan latar
belakang terjadinya dengan memperhatikan pendekatan ilmu-ilmu kontenporer yang
relevan;
g. Menganalisa hadis
serta menghubungkannya dengan tema pembahasan, termasuk mempertimbangkan fungsi
hadis terhadap al-Qur’an dan pendapat para ulama.
9. Natijah
a. Terdiri dari
kesimpulan dan implikasi
b. Kesimpulan merupakan
jawaban masalah
c. Implikasi seyogyanya
dapat memberikan solusi terhadap permasalahan ummat dalam kaitannya dengan tema
yang dibahas.
d. Implikasi sebaiknya
dilengkapi dangan saran-saran
Hadis yang dijadikan
obyek penelitian tergantung pada masalah yang dibahas. Obyek pembahasan yang
paripurna adalah penelitian yang membahas tiga unsur, yakni aspek ontologis,
epistimologis, dan aksiologis. Obyek penelitian dapat memilih salah satu aspek
dan bahkan satu bagian dari satu aspek.
Contoh Judul:
1. Ontologis: Iman dalam Perspektif Hadis Nabi
2. Epistimologis: Hadis-Hadis tentang Iman
3. Aksiologis: Urgensi Iman dalam Kehidupan menurut Hadis Nabi
Contoh Komposisi:
Bab I : Pendahuluan
Bab II : Tinjauan Umum tentang tema
A. Pengertian
(Pengantar untuk memperjelas istilah yang sesuai dengan istilah yang digunakan
di dalam hadis dan kerangka teori).
b. takhrij untuk mengetahui tanawwu’
c. Klasifikasi atau kategorisasi (penjelasan
global, termasuk kualitas hadis)
Bab III : Kualitas Hadis
a. Kegiatan i’tibar
b. Kualitas sanad
c. Kualitas matan
(sub bab
dapat pula disusun berdasarkan klasifikasi dan ketegorisasi hadis)
Bab IV : Analisis yang
didasarkan pada kategorisasi hadis (dapat dibagi dua atau tiga pembahasan)
a. Aspek ontologis
b. Aspek epistimologis
c. Aspek aksiologis
Bab V : Penutup
a. Kesimpulan
b. Implikasi
Bibliografi
Rekonstruksi metode
tematik dalam pengkajian hadis nabi menjadi penting dalam rangka mempertajam
keberadaan ilmu hadis sebagai disiplin ilmu karena telah memenuhi unsur-unsur
kefilsafatan, yakni aspek ontologis, aspek epistimologis, dan aspek aksiologis.
Hal ini juga menunjukkan bahwa kedudukan metode tematik dalam pengkajian hadis
pada khususnya dan studi Islam pada umumnya mempunyai kedudukan yang sama
dengan metodologi penelitian lainnya.
Metode tematik menjadi penting dalam
pengkajian hadis untuk membuktikan kerahmatan Nabi Muhammad saw dan ajaran
Islam yang dibawanya untuk seluruh alam semesta. Metode tamatik diharapkan
menjadi metode yang dapat memecahkan berbagai persoalan ummat dalam setiap
ruang dan waktu.
Metode tematik menjadi salah satu
solusi untuk menghindarkan berbagai persoalan ummat yang disebabkan oleh
keragaman hadis nabi (mukhtalif al-hadits). Dengan metode
tematik, maka keragaman hadis tersebut pada prinsipnya menunjukkan elastisitas
ajaran Islam.
Metode
tematik sangat tepat untuk memahami hadis nabi dalam rangka mengantisipasi
perkembangan dan kemajuan zaman.
[1]Kata al-I’tibar
merupakan bentuk masdar dari kata i’tabara berarti
memperhatikan sesuatu untuk mengetahui yang sejenis lainnya. Menurut
istilah, al-I’tibar berarti
menelusuri jalur-jalur sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu yang pada
bagian sanadnya terdapat seorang periwayat saja untuk mengetahui apakah ada
periwayat yang lain atau tidak ada (untuk bagian sanad yang dimaksud). Lebih
lanjut lihat: Arifuddin Ahmad, op. Cit., h. 73; lihat: Mahmud
Al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim,
1979), h. 140.
[2]Hermeneutika:
sebuah disiplin filsafat yang memusatkan kajiannya pada persoalan interpretasi;
understanding of understanding terhadap teks, terutama teks kitab suci,
yang datang dalam kurun waktu, tempat serta situasi tertentu. Disiplin ilmu ini
pada awalnya sekitar abad 16 M adalah sebuah disiplin ilmu yang ditujukan untuk
mengkritisi teks kitab suci Bibel untuk memperoleh kejelasan serta pemahaman
yang banar dalam berbagai hal yang dianggap bertentangan. Dan pada perkembangan
selanjutnya mendapat perhatian besar sebagai pisau analisa terhadap karya-karya
seni klasik pada akhir abad 18 dimana pada saat itu muncul apresiasi seni yang
tinggi dan pada saat yang sama telah memberikan kontribusi terhadap
perkembangan teori-teori ilmu sosial dan ilmu sejarah. Dengan memperhatikan
ruang lingkupnya, hermeneutika relevan untuk digunakan dalam studi hadis.
Sebagaimana hal itu juga telah dicoba diperkenalkan oleh banyak pemikir muslim
dalam mengkaji alqur’an. Sebut di antaranya Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, M.
Syahrur dan banyak lagi intelektual muslim lainnya. Penjelasan lebih lengkap
tentang hermeneutika, antara lain dapat dilihat dalam Richard E. Palmer, Hermeneutics:
Interpretation theory in Schleimacher, Dilthey, Hedegger, and Gadamer (Northwestern
University Press, Evanston, 1969) diterjemahkan oleh Masnur Hery &
Damanhuri Muhammed, Hermeneutika: Teori Baru mengenai Interpretasi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar