Persembahanku

أهلا و سهلا selamat datang saudaraku. Ini bukti kesungguhanku untuk selalu bersamamu.

Jumat, 06 Juli 2012

METODE TEMATIK DALAM PENGKAJIAN HADIS: Sebuah Konstruksi Epistimologis (part 2)


IV. OBJEK, TUJUAN DAN PENDEKATAN LANGKAH-LANGKAH

A. Objek Kajian
Pada prinsipnya, objek kajian metode tematik hanyalah hadis Nabi, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan maupun berupa keadaan atau sifat beliau sejak dibangkit menjadi Rasulullah hingga wafatnya. Namun, dengan memperhatikan beberapa faktor yang melatarbelakangi pentingnya metode tematik, maka objek kajian metode tematik (maudhu’i) adalah seluruh pernyataan yang disebut dengan hadis, baik hadis marfu’, mauquf, maupun maqtu’; baik yang sahih dan hasan maupun yang daif; baik yang tercantum dalam kitab-kitab standar hadis maupun yang terdapat di berbagai kitab lainnya; baik hadis yang bersifat qauliyah dan fi’liyah maupun yang bersifat taqririyah dan keadaan atau sifat Nabi Muhammad saw, sahabat dan tabi’in. Demikian pula ayat-ayat al-Qur’an yang diberi bayan oleh hadis Nabi.
Dilihat dari segi aspeknya, maka obyek kajian metode tematik meliputi keseluruhan aspek kehidupan manusia yang didasarkan pada ucapan, perilaku, dan karakter Nabi Muhammad saw, terutama kaitannya dengan masalah-masalah aktual dan kekinian.

B. Tujuan
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka tujuan metode tematik dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Untuk mengungkapkan kandungan hadis secara komprehensif;
2.      Untuk merumuskan konsep-konsep dasar berbagai masalah perspektif hadis secara komprehensif;
3.      Untuk menyelesaikan masalah-masalah yang tampak bertentangan kaitannya dengan hadis;
4.      Untuk mengetahui perkembangan pemahaman hadis secara tekstual, intertekstual, dan kontekstual;
5.      Untuk mengantisipasi perkembangan zaman dengan memecahkan masalah-masalah aktual berdasarkan petunjuk hadis;
6.      Untuk memantapkan eksistensi metode pengkajian hadis sebagai disiplin ilmu yang memenuhi unsur-unsur kefilsafatan.


C. Langkah-Langkahnya
Dalam prakteknya, pengkajian hadis dengan metode tematik dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Menentukan tema atau masalah yang akan dibahas;
2.      Menghimpun atau mengumpulkan data hadis-hadis yang terkait dalam satu tema, baik secara lafal maupun secara makna melalui kegiatan Takhrij al-Hadits;
3.      Melakukan kategorisasi berdasarkan kandungan hadis dengan memperhatikan kemungkinan perbedaan peristiwa wurud-nya hadis (tanawwu’) dan perbedaan periwayatan hadis (lafal dan makna);
4.      Melakukan kegiatan i’tibar[1] dengan melengkapi skema sanad.
5.      Melakukan penelitian sanad, meliputi: penelitian kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para periwayat yang menjadi sanad hadis bersangkutan, serta metode periwayatan yang digunakan masing-masing periwayat.
6.      Melakukan penelitian matan, meliputi: kemungkinan adanya ‘illat  (cacat) dan terjadinya syadz (kejanggalan).
7.      Mempelajari term-term yang mengandung pengertian serupa sehingga hadis terkait bertemu pada suatu muara tanpa ada perbedaan dan kontradiksi, juga “pemaksaan” makna kepada makna yang tidak tepat.
8.      Membandingkan berbagai syarahan hadis dari berbagai kitab-kitab syarah dengan tidak meninggalkan syarahan kosa kata, frase, dan klausa.
9.      Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis atau ayat-ayat pendukung dan data yang relevan.
10.  Menyusun hasil penelitian menurut kerangka besar konsep (grand concept) sebagai bentuk laporan hasil penelitian dan sebuah karya penelitian atau syarahan  hadis.
Langkah nomor 4, 5, dan 6 dilakukan jika dibutuhkan, tetapi yang dibutuhkan dalam hal ini adalah mengetahui kualitas hadis-hadis yang menjadi objek penelitian.



V. PENDEKATAN DAN TEKNIK INTERPRETASI

A. Pendekatan
Untuk memenuhi maksud dan mencapai tujuan, maka pengkajian hadis dan metode tematik memerlukan pendekatan holistik dan multidisiplime. Pemanfaatan berbagai teori dan berbagai disiplin ilmu, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, dan sejarah; sains dan teknologi; bahan dan komunikasi dengan pendekatan yang menyertainya menjadi sangat penting dalam rangka membuktikan hadis Nabi sebagai rahmat seluruh alam.
            Pada sisi lain, sebuah hadis bilah telah terbukti sebagai berasal dari Nabi Muhammad saw berarti ia merupakan ajaran tentang kebaikan dan kebenaran. Karena itu, pengetahuan yang benar dan baik mestilah sejalan dengan hadis Nabi dan bahkan memperkuat kebenaran hadis Nabi.
            Namun demikian, hemat penulis, sekalipun pendekatan holistik dan multidisipliner dapat diterapkan dalam pengkajian hadis dengan metode tematik tidaklah berarti tanpa pembatasan. Salah satu pendekatan yang masih menjadi polemik dikalangan ulama dan cendekiawan muslim adalah pendekatan hermeneutik.[2]
Tawaran hermeneutika sebagai sebuah metodologi sangat realistis. Namun persoalannya tidak sesederhana itu. Bagi penulis, walaupun banyak intelektual muslim menjadikan seluruh bagian dari aspek-aspek Islam menjadi konsumsi hermeneutika dan tidak menyisahkan satu bagian pun namun hal itu tidak berarti tanpa batas. Dalam studi hadis, dikenal beberapa aspek kandungan hadis, antara lain: aqidah, ibadah, muamalah, halal-haram, irsyad, eskatologis, dan lain sebagainya. Untuk beberapa bagian di atas, memang sangat relevan untuk menjadikan hermeneutika sebagai sebuah pendekatan, tetapi untuk hadis-hadis yang bersifat eskatologis tidak sepenuhnya menjadi bagian hermeneutika. Informasi Nabi tentang gambaran surga yang bersifat kenikmatan material itu dapat saja dianalisis; kenapa Nabi menggambarkan surga seperti itu? Siapa yang menjadi mukhatab al-Hadis? Dan pertanyaan-pertanyaan lain sekitar latar belakang lahirnya hadis. Namun, untuk menjelaskan lebih jauh tentang keadaan surga, maka pendekatan hermeneutika sulit untuk diterapkan. Karena tak seorang pun telah memiliki akses dan pengalaman tentang itu.

B. Teknik Interpretasi
Perlu dijelaskan bahwa objek yang dapat diinterpretasi dalam pengkajian hadis adalah matan hadis, meliputi kosa kata (termasuk partikel-partikel atau huruf), frasa, klausa, dan kalimat.
            Teknik interpretasi sebagai cara memahami makna dari ungkapan verbal yang dapat dipergunakan dalam pengkajian hadis secara tematik adalah sebagai berikut:
1.      Interpretasi tekstual, yaitu interpretasi atau pemahaman terhadap matan hadis berdasarkan teksnya semata dan/atau memperhatikan bentuk dan cakupan mkna. Namun, teknik ini mengabaikan pertimbangan latar belakang peristiwa (wurud) hadis dan dalil-dalil lainnya.
Dasar penggunaan teknik ini adalah bahwa setiap ucapan dan perilaku Nabi Muhammad saw tidak terlepas dari konteks kewahyuan (Q.S. al-Najm: 3-4) dan hadis-hadis beliau menjadi sumber hukum Islam (Q.S. al-Hasyr: 7).
Pendekatan yang dapat digunakan untuk teknik interpretasi tekstual adalah pendekatan linguistik (lughawiy) dan teologis (kaidah-kaidah fiqh).
2.      Interpretasi intertekstual (munasabah), yaitu interpretasi atau pemahaman terhadap matan dengan memperhatikan hadis lain (tanawwu’) dan/atau ayat-ayat al-Qur’an yang terkait. Dasar penggunaan teknin ini adalah penegasan bahwa hadis Nabi adalah bayan terhadap ayat-ayat al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah: 186 dan al-Nahl: 44) dan kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai sumber hadis dengan keragamannya. Pendekatan yang  dapat digunakan untuk teknik interpretasi intertekstual adalah pendekatan teologi-normatif.
3.      Interpretasi kontekstual, yaitu interprestasi  atau pemahaman terhadap matan hadis dengan memperhatikan asbab al-wurud al-hadis (konteks di masa rasul; pelaku sejarah, perisiwa sejarah, dsb) dan konteks kekinian (konteks masa kini).
Dasar penggunaan teknik adalah bahwa Nabi Muhammad saw adalah teladan yang terbaik, uswatun hasanah (Q.s. al-Ahzab:21) dan beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam (Q.s. al-Anbiya:107). Ini berarti bahwa hadis Nabi bukti kerahmatan beliau, sekalipun beberapa di antaranya dianggap bertentangan dengan kemajuan zaman.
Pendekatan yang dapat digunakan untuk teknik interpretasi kontekstul adalah pendekatan holistik dan multidisipliner atau beberapa pendekatan, dan/atau pendekatan tertentu bagi disiplin ilmu kontemporer, seperti: pendekatan historis, sosiologis, antropologis, hermeneutika, semiotik, dan semacamnya.
   Dalam rangka memenuhi maksud dan tujuan metode tematik dalam pengkajian hadis, maka sedap mungkin ketiga teknik interpretasi diatas digunakan. Sebab, perbedaan natijah yang diperoleh tidaklah berarti terjadinya pertentangan tetapi hal itu menunjukkan elastisitas dan bukti kerahmatan hadis Nabi.

VI. KERANGKA ACUAN PENELITIAN
Untuk memudahkan penelitian hadis dengan menggunakan metode tematik,  maka  penulis merumuskan kerangka acuan penelitian, meliputi: Tema atau Judul Penelitian; Masalah pokok; Metodologi; Pengertian Istilah; Takhrij al-Hadis; klasifikasi Hadis; Kritik Hadis; Pemahaman (syarah) al-Hadis; dan Pengambilan Natijah.
            Penjelasan singkat tentang sub-sub pembahasan sebagai berikut:
1.      Penetapan judul
a.       Judul sebaiknya ditetapkan setelah melakukan pra penelitian
b.      Judul mencakup aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi; atau salah satu diantaranya; dan atau salah satu bagian dari salah satu aspek.
c.       Judul  harus singkat, padat, dan jelas.
2.      Penetapan masalah Pokok
a.       Masalah pokok dapat berbentuk pertanyaan atau pernyataan.
b.       Masalah pokok hanya terdiri dari satu dan terdiri dari beberapa sub masalah.
c.       Masalah pokok mencerminkan judul yang akan dibahas;
3.      Metodologi
a.       Metode pendekatan disesuaikan dengan tema yang dibahas.
b.      Metode pengumpulan data menggunakan metode takhrij.
c.       Untuk menetapkan pernyataan yang disebut hadis benar-benar berasal dari Nabi Muhammad saw diperlukan metode kritik hadis.
d.      Untuk memahami kandungan hadis secara utuh dan komprehensif, maka digunakan teknik interpretasi tekstual, intertekstual, dan kontekstual.


4.      Pengertian Istilah
a.       Dimaksudkan sebagai pengantar untuk memperjelas istilah yang digunakan di dalam hadis Nabi, bukan kajian ontologis.
b.      Istilah yang digunakan berfungsi sebagai acuan untuk melakukan takhrij.
c.       Istilah yang digunakan dapat lebih dari satu.
5.      Takhrij al-Hadis
a.       Metode yang digunakan sebaiknya lebih dari satu.
b.      Sebaiknya diawali dengan metode maudhu’i, lalu diperkaya dan diperkuat dengan metode lafal (sharf).
c.       Seluruh hadis yang ditunjuk seyogyanya dilaporkan tempat pengutipannya.
6.      Klasifikasi dan kategorisasi
a.       Klasifikasi dan katagorisasi  hadis disesuaikan dengan perbedaan peristiwa hadis (tanawwu’)dan sub masalah.
b.      Hadis –hadis yang selafal atau yang semakna kandungannya, sebaiknya hanya dikutip satu lafal dan yang lainnya dapat menajadi lampiran.
c.       Jika memungkinkan sebaiknya hadis-hadis diklasifikasi berdasrkan aspek-aspeknya (ontologis, epistemologis, dan atau aksiologisnya).
7.      Kritik hadis
a.       Terdiri dari kritik sanad dan matan.
b.      Kritik hadis diawali dengan kegiatan i’tibar al-sanad dan dilengkapi dengan skema sanad. Kegiatan i’tibar berfungsi untuk mengetahui seluruh periwat yang terkait dengan  hadis yang sedang diteliti.
c.       Kritik sanad, meliputi: penelitian tentang sejarah hidup periwayat; kualitas periwayat; dan kapasitas intelektual periwayat/peneliti serta memperhatikan metode periwayatan yang digunakan.
d.      Kritik  matan, meliputi: penelitian terhadap adanya syadz; penelitian terhadap adanya ilat. Adapun caranya adalah meneliti kata per kata, kalimat per kalimat, dan kandungannya untuk mengetahui adanya idraj, ziyadah, munqalib, mushahhaf, dan semacamnya.
8.      Pembahasan (Fiqh al-Hadis)
a.       Analisis terhadap kandungan hadis disesuaikan dengan klasifikasi dan katagorisasi serta sub masalah.
b.      Analisis dimaksudkan untuk menjawab permasalan yang diajuakan.
c.       Analisis hendaknya tajam dan mendalam.
d.      Analisis hadis dengan pertimbangan bentuk matan dan cakupan petunjuknya.
e.       Analisis hadis dengan mempertimbangkan fungsi dan kedudukan Nabi Muhammad saw.;
f.        Analisis hadis dengan menghubungkan latar belakang terjadinya dengan memperhatikan pendekatan ilmu-ilmu kontenporer yang relevan;
g.      Menganalisa hadis serta menghubungkannya dengan tema pembahasan, termasuk mempertimbangkan fungsi hadis terhadap al-Qur’an dan pendapat para ulama.
9. Natijah
a.       Terdiri dari kesimpulan dan implikasi
b.      Kesimpulan merupakan jawaban masalah
c.       Implikasi seyogyanya dapat memberikan solusi terhadap permasalahan ummat dalam kaitannya dengan tema yang dibahas.
d.      Implikasi sebaiknya dilengkapi dangan saran-saran
Hadis yang dijadikan obyek penelitian tergantung pada masalah yang dibahas. Obyek pembahasan yang paripurna adalah penelitian yang membahas tiga unsur, yakni aspek ontologis, epistimologis, dan aksiologis. Obyek penelitian dapat memilih salah satu aspek dan bahkan satu bagian dari satu aspek.

Contoh Judul:
1. Ontologis: Iman dalam Perspektif Hadis Nabi
2. Epistimologis: Hadis-Hadis tentang Iman
3. Aksiologis: Urgensi Iman dalam Kehidupan menurut Hadis Nabi

Contoh Komposisi:
Bab I        : Pendahuluan
Bab II       : Tinjauan Umum tentang tema
                     A. Pengertian (Pengantar untuk memperjelas istilah yang sesuai dengan istilah yang digunakan di dalam hadis dan kerangka teori).
                     b. takhrij untuk mengetahui tanawwu’
                     c.  Klasifikasi atau kategorisasi (penjelasan global, termasuk kualitas hadis)
Bab III     :    Kualitas Hadis
                     a.  Kegiatan i’tibar
                     b. Kualitas sanad
                     c.  Kualitas matan
                     (sub bab dapat pula disusun berdasarkan klasifikasi dan ketegorisasi hadis)
Bab IV     : Analisis yang didasarkan pada kategorisasi hadis (dapat dibagi dua atau tiga pembahasan)
                     a. Aspek ontologis
                     b. Aspek epistimologis
                     c. Aspek aksiologis
Bab V      : Penutup
                     a. Kesimpulan
                     b. Implikasi
Bibliografi

Rekonstruksi metode tematik dalam pengkajian hadis nabi menjadi penting dalam rangka mempertajam keberadaan ilmu hadis sebagai disiplin ilmu karena telah memenuhi unsur-unsur kefilsafatan, yakni aspek ontologis, aspek epistimologis, dan aspek aksiologis. Hal ini juga menunjukkan bahwa kedudukan metode tematik dalam pengkajian hadis pada khususnya dan studi Islam pada umumnya mempunyai kedudukan yang sama dengan metodologi penelitian lainnya.
            Metode tematik menjadi penting dalam pengkajian hadis untuk membuktikan kerahmatan Nabi Muhammad saw dan ajaran Islam yang dibawanya untuk seluruh alam semesta. Metode tamatik diharapkan menjadi metode yang dapat memecahkan berbagai persoalan ummat dalam setiap ruang dan waktu.
            Metode tematik menjadi salah satu solusi untuk menghindarkan berbagai persoalan ummat yang disebabkan oleh keragaman hadis nabi (mukhtalif al-hadits). Dengan metode tematik, maka keragaman hadis tersebut pada prinsipnya menunjukkan elastisitas ajaran Islam.
       Metode tematik sangat tepat untuk memahami hadis nabi dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan kemajuan zaman.


[1]Kata al-I’tibar merupakan bentuk masdar dari kata i’tabara berarti memperhatikan sesuatu untuk mengetahui yang sejenis lainnya. Menurut istilah,  al-I’tibar berarti menelusuri jalur-jalur sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu yang pada bagian sanadnya terdapat seorang periwayat saja untuk mengetahui apakah ada periwayat yang lain atau tidak ada (untuk bagian sanad yang dimaksud). Lebih lanjut lihat: Arifuddin Ahmad, op. Cit., h. 73; lihat: Mahmud Al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979), h. 140.
[2]Hermeneutika: sebuah disiplin filsafat yang memusatkan kajiannya pada persoalan interpretasi; understanding of understanding terhadap teks, terutama teks kitab suci, yang datang dalam kurun waktu, tempat serta situasi tertentu. Disiplin ilmu ini pada awalnya sekitar abad 16 M adalah sebuah disiplin ilmu yang ditujukan untuk mengkritisi teks kitab suci Bibel untuk memperoleh kejelasan serta pemahaman yang banar dalam berbagai hal yang dianggap bertentangan. Dan pada perkembangan selanjutnya mendapat perhatian besar sebagai pisau analisa terhadap karya-karya seni klasik pada akhir abad 18 dimana pada saat itu muncul apresiasi seni yang tinggi dan pada saat yang sama telah memberikan kontribusi terhadap perkembangan teori-teori ilmu sosial dan ilmu sejarah. Dengan memperhatikan ruang lingkupnya, hermeneutika relevan untuk digunakan dalam studi hadis. Sebagaimana hal itu juga telah dicoba diperkenalkan oleh banyak pemikir muslim dalam mengkaji alqur’an. Sebut di antaranya Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, M. Syahrur dan banyak lagi intelektual muslim lainnya. Penjelasan lebih lengkap tentang hermeneutika, antara lain dapat dilihat dalam Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation theory in Schleimacher, Dilthey, Hedegger, and Gadamer (Northwestern University Press, Evanston, 1969) diterjemahkan oleh Masnur Hery & Damanhuri Muhammed, Hermeneutika: Teori Baru mengenai Interpretasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar