Persembahanku

أهلا و سهلا selamat datang saudaraku. Ini bukti kesungguhanku untuk selalu bersamamu.

Jumat, 06 Juli 2012

MATAGUAL 'catatan dari perjalanan Jambi-Muara Bungo'


Matagual adalah kampung halaman keluarga besar kami. Meskipun aku dilahirkan di Jambi, tetap saja aku tak bisa dipisahkan dengan Matagual. Ketika rekan-rekanku di Jambi mengingat aku, Matagual selalu ditempelkan di latar belakang keluargaku. Ayah dan emakku berasal dari desa yang mulai bangkit ini. Begitu juga dengan tiga saudaraku, semuanya dilahirkan di desa ini.

Matagual terletak di Kabupaten Batang Hari Jambi. berseberangan dengan desa Muara Jangga. Batang Tembesi memisahkan antara Muara Jangga dan Matogual.

Matagual sebenarnya desa tua, di sinilah barasal keturunan keluarga besar kami. Tercatat bahwa orang pertama yang merintis desa ini adalah Djenang Madnu yang meninggal sekitar tahun 1815 M. Djenang Madnu inilah yang disebut-sebut sebagai asal muasal keturunan keluarga besar kami. Djenang Madnu ini dikabarkan berasal dari daerah Jawa. Saya sering membatin: "nggak heran ya kalo orang banyak mengira saya ini orang Jawa, karena ternyata ada juga moyang kami yang berasal dari jawa."

Matagual, sekarang sering disebut Matogual disebabkan karena penyesuaian dengan dialek jambi yang mengganto vokal A menjadi O. Sebenarnya penyesuaian ini kurang tepat, karena asal muasal Matagual ini sindiri memang dari kata mata dan gual.

Mata berasal dari kata 'mentah' bukan dari kata 'mata' yang dalam bahasa Jambi disebut 'mato'. Sementara kata kedua 'gual' berarti alat pemukul.

Dahulunya di desa ini banyak sekali ditumbuhi pohon enau yang digunakan untuk menghasilkan nira (bahan pembuat gula). Banyak orang mengambil nira ini. Cara mendapatkannya adalah dengan meletakkan sejenis alat untuk mengalirkan nira dari pohonnya. alat ini ditanamkan ke dalam cabang pelepah nira. cara meletakkannya adalah dengan memukul alat tersebut ke pohon nira. Jika diletakkan dengan baik, maka akan menghasilkan banyak nira. Akan tetapi jika tidak baik, karena memukul (GUAL) alat tersebut kurang mantap (masih MENTAH) maka nira yang dihasilkan juga akan sedikit.

Mungkin karena inilah maka terjadi komunikasi antar penyadap nira. Mungkin setiap kali hasil nira yang didapat sedikit, orang akan berkata oh itu karena 'matah gual' alias tidak baik memukulkan alat ke pohon enau. Dari jargon inilah kemudian frasa 'matah gual' itu berkembang lalu karena berbagai adaptasi menjadi 'MATAGUAL'. Dengan alasan inilah, menurut saya, biarlah MATAGUAL itu tetap dengan abjad 'A' (MATA) bukan di-bahasajambi-kan menjadi 'MATO'. Karena jika diganti dengan kata terakhir ini yang berarti 'mata' dalam Bahasa Indonesia, justru akan 'melenceng' dari makna sebenarnya. Wa Allhu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar