I. PENDAHULUAN
Eksistensi hadis sebagai sumber otoritatif kedua setelah
al-Qur’an menempati posisi sentral dalam studi Islam. Otoritas hadis yang
bersumber dari Nabi Muhammad saw mendapat pengakuan dan legitimasi ilahiah.[1]
Beliau merupakan manifestasi al-Qur’an yang bersifat praktis.[2]
Antara keduanya; al-Qur’an dan hadis Nabi dalam beberapa literatur, dinilai
berasal dari sumber yang sama. Perbedaan keduanya hanya pada bentuk dan tingkat
otentisitasnya, bukan pada substansinya. al-Qur’an dinyatakan sebagai wahyu matlu’
sementara hadis Nabi dinyatakan sebagai wahyu ghayru matlu’.[3]
Terintegrasinya hadis Nabi pada wilayah ilahiyah,
telah memposisikannya sebagai acuan bagi setiap muslim untuk mengabsahkan
setiap prilakunya di berbagai komunitas di setiap zaman sebagai upaya untuk
mendapatkan gelar sebagai muslim kaffah, bukan munkir al-Sunnah
(hadis), dan penerus kerahmatan.
Kehadiran hadis Nabi di setiap zaman dari
peradaban manusia dituntut betul-betul mampu menjawab setiap permasalahan umat
sebagai konsekuensi dialektis antara perkembangan zaman disatu sisi yang lain.
Dan bukan sebaliknya, hadits menjadi penghalang dari setiap kemajuan peradaban
manusia, dengan menghakiminya sebagai bid’ah dalalah, sumber
perpecahan,kejumudan, dan kemunduran.
Usaha di atas, bukannya tampa kendala. Mengingat
proses takwin al-hadis terjadi ribuan tahun yang silam dengan tahapan
dari setiap tahapan terajut dalam satu jalilan proses yang multi-kompleks. Jika
dewasa ini, hadits Nabi dapat dengan mudahnya dilacak dalam berbagai kitab
mu’tabarah, kutub sittah, maka tidak serta merta usaha tersebut menjadi final, banyak dimensi
lain yang penting untuk dipahami dan dikritisi.
Pada sisi lain, wajah studi hadis dalam sejarah
panjang ilmu hadis lebih didominasi oleh isnad critique dengan
menjadikan interprestasi tekstual-legalistik sebagain porosnya dalam kukungan
paradigma teologis menyebabakan hadis kehilangan dan terputus dari konteks
historisnya. Sehingga studi keislaman lalu hadir dalam paket-paket produk ulama
abad pertengahan yang saling terpisah dan cenderung diidealisasikan sebagai
produk yang final dan menempatkan Islam pada posisi terbelakang
Based on that reality, berbagai kalangan menempatkan hadis sebagai
objek kajian ilmu-ilmu modem sekalipun selama ini ilmu hadis dinilai sudah
matang dan bahkan Baharuddin al-Zarkasyi pernah memposisikan ilmu hadis sebagai
ilmu yang telah matang dan terbakar.[4]
Hal menujukkan pengembangan ilmu tentang hadis Nabi menjadi suatu keniscayaan.
Dalam kerangka inilah, maka salah satu hal yang menjadi perhatian penulis
adalah bagaimana melakukan rekonstruksi terhadap metode tematik pengkajian
hadis Nabi.
II.
PENGERTIAN
Istilah metode tematik dalam pengkajian hadis
Nabi merupakan terjemah dari al-manhaj al-maudu’i fi syara al-hadis.
Selain metode tematik, dikenal sebelumnya dalam metode tahlili dan
metode muqaran.
Metode tahlili mengandung pengertian
pensyarahan atau pengkajian hadis secara rinci dari berbagai aspek tinjauan
berdasarkan struktur matan sebuah hadis atau urutan matan hadis dari suatu
kitab hadis secara runtut.[5]
Pengkajian seperti ini, antara lain dilakukan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani di
dalam kitabnya, Fath al-Bariy ‘ala syarh sahih al-Bukhari. Sedangkan
metode muqaran mengandung pengertian pensyarahan dan pengkajian hadis
dengan membandingkan matan hadis yang beragam atau dengan menghubungkan dengan
ayat-ayat Al-Qur’an dan atau membandingkan pendapat para ulama tentang
kandungan satu hadis.[6]
Pengkajian seperti ini, antara lain dilakukan oleh al-San’ani didalam kitabnya,
Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram min Jami’ Adillah al-Ahkam.
Adapun metode tematik (maudu’i) mengandung
pengertian pensyarahan atau pengkajian hadis berdasarkan tema yang
dipermasalahkan, baik mennyangkut aspek ontologisnya maupun aspek epistemologis
dan aksiologisnya secara keseluruhan, atau salah satu aspek, seperti aspek ontologisnya
saja, dan/atau salah satu sub dari salah satu aspeknya.
III. LATAR
BELAKANG PENTINGNYA
A. Dilihat dari Segi
Pengertian Hadis
Para ulama berbeda pendapat di dalam memberikan
defenisi hadis. Perbedaan itu tidak kurang dari tiga factor, yaitu: (1) subyek
hadis, sebagian ulama membatasi hadis hanya pada apa yang disandarkan kepada
Nabi saw saja, sebagian lainnya memperluas sehingga juga mencakup apa yang
disandarkan kepada nabi kepada Nabi saw yaitu sahabat dari tabi’in; (2) Obyek
hadis, sebagian ulama membatasi hadis hanya pada perkataan, perbuatan, sebagian
memperluas hadis pada ketetapan dan bahkan sebagian ulama lainnya memperluas
pada keadaan dan sifat; dan (3) priode hadis, sebagian ulama membatasi hadis
hanya pada apa yang disampaikan setelah muhammad saw menjadi nabi, dan ulam
lainnya memperluas pada apa yang disampaikan sebelum beliau menjadi nabi.[7]
Perbedaan ulama dalam mendefenisikan hadis tentu
akan berimplikasi pada aspek-aspek hadis itu sendiri, baik dari segi
ontologisnya, epistomologisnya maupun aksiologisnya. Bahkan, perbedaan ini
memperluas terjadinya perbedaan-perbedaan di dalam memahami hadis dan dalam
kaitanya dengan kehujahan hadis itu sendiri. Misalnya, apakah hadis yang
berkaitan dengan salat lail dari Nabi
Muhammad saw berbeda subtansinya denagan salat taraweh yang merupakan ijtihad
Khalifah Umar r.a.[8]
Jika keduanya adalah masing-masing hadis
yang berdiri sendiri, maka dapat dipahami salat lail dan salat taraweh berbeda.
Tetapi, jika yang dimaksud hadis hanya yang bersumber dari Nabi Muhammad saw
dan yang datang dari Khalifah Umar bin al-Khattab r.a. berkedudukan sebagai
ijtihad beliau selaku Khalifah, maka dapat dipahami bahwa subtansi salat
taraweh dan salat lail adalah sama, yakni salat lail yang dikerjakan pada awal
malam dan diringi dengan istirahat (wirid, tadarrus, dan semacamnya). Bukanlah
salat lail dapat dikerjakan pada awal malam setelah salat isya?
عن ابن عباس رضي الله عنهما قالبت في بيت خالتي ميمونة فصلى رسول الله
صلى الله عليه و سلم العشاء ثم جاء فصلى أربع ركعات ثم نام ثم قام فجئت فقمت عن
يساره فجعلني عن يمينه فصلى خمس ركعات ثم صلى ركعتين ثم نام حتى سمعت غطيطه أو قال
خطيطه ثم خرج إلى الصلاة [9]
Dan, bukankah Nabi Muhammd saw pernah
melaksanakan salat lail secara berjama’ah selama tiga malam dan pada malam
keempat beliau membiarkan para jama’ah melanjutkan salatnya sementara beliau
sendiri salat di rumahnya karena khawatir bila salat malam diwajibkan.[10]
Berdasarkan kedua hadis Nabi tersebut dan beberapa riwayat lainnya berkaitan
dengan salat lail, maka diketahui bahwa sesungguhnya Khalifa Umar bin
al-Khattab tidak menyalahi salat lail yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad
saw. Dalam berbagai situasi dan kondisi beliau.
Oleh karena itu, salah satu upaya untuk
mengurangi pertentangan yang disebabkan oleh hadis, maka perlu ada keseragaman
di dalam mendefinisikan hadis, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan maupun
berupa keadaan atau sifat beliau sejak dibangkit menjadi rasulullah hingga
wafatnya.
B.
Dilihat dari Segi Kedudukan Hadis
Dalam pengamatan penulis, sejarah panjang
pengkajian hadis dilihat dari segi kedudukannya, dapat dibagi kepada bagian,
yaitu: pertama, pengkajian yang mendudukkan hadis sebagai sumber hukum.
Hal ini didasarkan pada otoritas Nabi Muhammad saw yang menjelaskan bahwa
segala yang berasal dari beliau dalam kedudukannya sebagai rasulullah hendaknya
diambil (dijadikan sebagai hujja) dan yang dilarangnya hendaknya ditinggalkan (Q.s.
al-Hasyr:7) dan perintah untuk mengikuti beliau sebagai rasulullah saw
sebagaimana harus mengikuti Allah Swt (Q.s. al-Nisa’:59 dan 80).
Kedua, pengkajian yang mendudukkan hadis sebagi sumber keteladanan. Hal ini
didasrkan pada kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai teladan yang terbaik, uswatun
hasanah (Q.s. al-Ahzab:21). Artinya, jika beliau sebagai teladan yang
terbaik, maka seluruh ucapan dan perilakunya pun (hadis nabi) menunjukkan
sesuatu yang patut di teladani.
......................
Secara sepintas, penulis menilai ketiga hadis di
atas memenuhi kriteria kesahihan.[11]
Jika demikian, maka ketiga hadis tersebut seharusnya tidak disikapi dengan melakukan
tarjih (memilih salah satu yang terkuat), tetapi perlu melakukan tadabbur
lebih lanjut, terutama dengan metode tematik.
Oleh karena tadabbur belum dilanjutkan,
maka seolah-olah ketiga hadis di atas telah ”dikavling” oleh kelompok-kelompok
tertentu dan seolah-olah telah menjadi identitas kelompok tersebut. Pada hal,
jika tadabbur dilanjutkan, boleh jadi ditemukan bahwa setiap ragam hadis
di atas menyertai ragam salat Nabi saw. Bukankah salat Nabi ada yang dilakukan
dengan memanjangkan, seperti salat kusuf dan salat tahajjud; ada yang
sedang-sedang, seperti salat fardu dengan cara berjama’ah; dan ada yang
dipendekkan, seperti salat qasar dan salat khauf.
C.
Dilihat dari Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an
Berdasarkan Q.s. al-Nahl:44, Nabi Muhammad saw
ditugaskan untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an kepada umat manusia.
Penjelasan-penjelan beliau itulah yang disebut sebagai hadis. Ini berarti bahwa
hadis Nabi berfungsi sebagai bayan terhadap Al-Qur’an, baik berupa penjelasan
terhadap ayat yang masih bersifat gelobal dan interpretable (tafsil
wa tafsir), atau berupa penguatan dan pengokohan (taqrir), atau
berupa penetapan (tasyri). Misalnya, hadis tentang penetapan awal bulan,
khusunya awal bulan ramadan dan bulan syawal. Hadis Nabi berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُونَ فَإِذَا
رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ».[12]
Apabilah hadis di atas dipahami dengan
mempertimbang-kan fungsinya sebagai bayan al-tasyri, maka kandungan
hadis tersebut menujukkan bahwa penetapan awal bulan ramadan dan syawal
didasarkan pada metode ru’yat al-hilal[13] dengan iterpretasi tekstual. Jika demikian,
maka penetapan tersebut barulah dapat dilakukan saat matahari terbenam pada
akhir bulan Sya’ban, bukan berdasarkan klender tahunan.
Namun, apabila hadis
di atas dipahami dengan memper-timbangkan fungsinya sebagai bayan
al-tafsir wa al-taqrir, maka kandungan hadis tersebut menujukkan bahwa
penetapan awal Ramadan dan Syawal didasrkan pada metode hisab[14]
dengan melakukan
interpretasi intertekstual dan kontekstual. Jiak demikian, maka penetapan
tersebut dapat dilakukan satu tahun atau berapa tahun sebelumnya.
Dengan demikian, hadis
Nabi-seperti hanya Al-Qur’an-tidak bertentangan antara satu hadis dengan hadis
yang lainya. Bukankah ucapan-ucapan dan tingkah laku Nabi saw tidak terlepas
dari koridor kewahyuan (Q.s. Al-Najm: 3-4). Bukankah hadis Nabi dan Al-Qur’an
tidak dapat dipisahkan, sehingga jika Al-Qur’an dinyatakan sebagai sesuatu yang
berasal dari sisi Allah swt.
Jika pertentangan
terjadi pada ayat-ayat Al-Qur’an karena kurangnya tadabbur (Q.s. Al-Nisa: 82), maka dapat pula
dinyatakan bahwa pertentangan yang terjadi pada hadis Nabi karena kurangnya
pula tadabbur. Artinya, pertentangan terjadi karena seharusnya tadabbur masih dilanjutkan
tetapi masing-masing pihak telah mengambil keputusan yang hanya berlaku pada
pihak atau kelompoknya masing-masing.
Berdasarkan uraian di
atas, maka hadis-hadis yang mengandung pertentangan masih memerlukan pengkajian
yang lebih luas dan mendalam. Salah satu metode pengkajian untuk itu adalah
metode tematik. Metode ini diharap dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi
pertentangan berkaitan dengan hadis Nabi.
D. Dilihat dari Otoritas Nabi Muhammad saw
Salah satu polemik
yang terjadi dalam diskursus hadis Nabi adalah apakah nabi Muhammad saw
memiliki otoritas sebagai sumber hukum yang bersifat mengikat. Bukankah beliau,
selain dinyatakan sebagai Rasulullah (Q.s. Al’Imran: 144) juga dinyatakan
sebagai manusia biasa (Q.s. Al-Kahfi: 110).
Nabi Muhammad saw yang
hidup ditengah-tengah masyarakat, di samping dibatasi oleh waktu dan tempat,
juga diperhadapkan dengan berbagai peristiwa. Tidak jarang beliau menerimah
pertanyaan dari para sahabatnya dan member komentar terhadap peristiwa yang
terjadi. Kerena itu, Segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi saw dan
suasana yang melatarbelakangi ataupun yang menyebabkan terjadinya hadis Nabi
mempunyai kedudukan penting dalam pemaham suatu hadis. Dengan demikian,
pemahaman terhadap hadis Nabi perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain
otoritas Nabi Muhammad saw.
Menurut Mahmud
Syaltut, mengetahui tingkah laku Nabi saw dengan mengaitkan pada fungsi Nabi tatkala
beliau sangat besar manfaatnya.[15]
ulama yang pertama kali memahami kandungan hadis Nabi dengan menghubungkan
fugsi Nabi saw adalah imam syihab al-Din al-Qurafi (w. 694 H.) dalam kitabnya yang
berjudu: al-Furuq dan kitab al-Ihkam fi Tamyiz Fatawa min al-Ahkam.[16] Dalam kitab tersebut,
al-Qarafi melakukan kajian tentang ucapan dan perbuatan Rasulullah saw serta perbedaan
kondisinya, antara beliau sebagai pemimpin, hakim, dan pemberi fatwa atau
penyampai ajaran dari Allah swt.. Ia menyatakan sebagai berikut:
الفرق بين قائدةتصرفه صلى الله عليه و سلم
بالقضاء و قائدةتصرفه بالفتوى و هي تبليغ و قائدةتصرفه بالإمامة [17]
Artinya: “perbedaan
antara kewenangan Rasulullah saw dalam pemutusan hukum, kewenangan beliau
berfatwa, yauti dalam rangka menyampaikan ajaran agama, dan kewenangan Rasul saw saat sebagai
pemimpin,”
Syekh Ahmad Abd
al-Rahim atau yang lebih dikenal dengan Syah Waliyullah al-Dahlawi (w. 1176 H),
seorang ulam india, didalam kitabnya, Hujjah Allah al-Baligah, menjelaskan bahwa
sabda Nabi saw dibagi kepada sunnah yang disabdakan Nabi saw dalam kepastiannya sebagai penyampai risalah dan yang disbdakan
bukan sebagai penyampai risalah.[18]
Sementara Syuhudi mengkatagorisasi hadis Nabi kepada: (1) sebagai rasul; (2)
sebagai kepala Negara/pemimpin masyarakat atau sebagai panglima perang; (3)
sebagai hakim; dan (6) sebagai suami dan pribadi.[19]
Perlu ditegaskan bahwa
sekalipun fungsi-fungsi Nabi Muhammad saw dapat dikagorisasi, tetapi sejak
beliau diangkat menjadi nabi, maka seluruh ucapan dan tingkah laku beliau tidak
terlepas dari misi kerasulannya.
Melakukan katagorisasi
terhadap fungsi-fungsi Nabi berimplikasi pada keragaman pemahaman dan pengamalan
sebuah hadis serta otoritas Nabi
Muahammad saw, apakah sebuah perilaku beliau bersifat mutlak (subtansi dan
peraktisnya) ataukah yang subtantifnya saja sementara aspek praktisnya dapat
beragam. Misalnya, tentang tatacara dan model pakaian Nabi. Apakah yang wajib
diikuti adalah fungsi pakaian menutup aurat sekaligus tatacara dan modelnya,
ataukah yang wajib diikuti adalah fungsi pakaian untuk menutup aurat saja
sementara tata cara dan modelnya disesuaikan dengan kebutuhan dan kebiasaan.
Dalam konteks inilah, maka metode tematik diperlukan.
E. Dilihat dari Segi periwayatan Hadis
Dilihat dari segi
periwayatan, hadis dapat dibagi kepada periwayatan lafal dan makna. Yang
dimaksud periwayatan hadis secara lafal adalah periwayatan hadis yang
redaksinya atau matannya persisi seperti yang diwujudkan oleh Nabi Muhammad
saw. Sedangkan periwayatan hadis secara makna[20]
adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persisi seperti yang telah
diwujudkan atau diucapkan oleh Nabi Muhammad saw.
Pada zaman Nabi saw.
Tidak seluruh sabda Nabi dapat ditulis oleh para sahabat Nabi, bahkan
periwayatan hadis lebih banyak berlansung secara lisan. Hadis yang dimungkinkan
diriwatkan secara lafal pun hanya hadis dalam bentuk sabda, sementara hadis
dalam bentuk perbuatan hanya dapat diriwatkan secara makna. Bahkan, hadis yang
dalam bentuk sabda pun sangat sulit disampaikan seluruhnya secara lafal karena
tingkat kecerdasan dan kemampauan hafalan para sahabat Nabi berbeda-beda.
Namun, tidak berarti bahwa tidak ada sabda Nabi saw. Yang tidak dapat
disampaikan secara lafal.
Bahkan, diantara hadis
Nabi ada yang dimungkinkan lafalnya berbeda dilihat dari segi dialeknya, tetapi
keduanya boleh jadi diriwatkan secara lafal. Bukankah Beliau dikenal fasih
dalam berbicara dan isi pembicaraannya berbobot. Beliau berusaha menyesuaikan sabdanya
dengan bahasa (dialek), kemampuan intelektual, dan latar belakang budaya audience-nya.
Misalnya, ketika
‘Ashim al-Asy’ariy bertanya kepada Nabi Muhammad saw tentang hukum berpuasa
bagi orang yang dalam perjalanan, beliau menjawab dengan dialek sipenanya,
yaitu dialek subuh al-Asy’ariy:ليس من أم بر أم صيام في أم سفر pada sisi
lain, ditemukan riwayat yang menggunakan dialek bahasa baku (Fushah): ليس من البر الصيام في السف”
Bukan suatu kebijakan orang berpuasa dalam perjalanan.[21]
Dengan adanya
periwayatan hadis secara lafal dan makna, maka hadis Nabi yang berupa sabda pun
ada yang asli dari Nabi dan ada yang tidak. Periwayatan hadis secara makna
dapat menjadi salah satu faktor adanyamatan hadis yang tampak saling
bertentangan. Adanya periwayatan secara makna menunjukkan bahwa kajian terhadap
hadis Nabi memerlukan studi filologi.[22]
Studi filologi merupakan salah satu pendekatan yang dapat diterapkan
dalam metode tematik.
Pada sisi lain, perbedaan redaksi matan sebuah
hadis dengan hadis yang detema dengannya dapat disebabkan oleh perbedaan
peristiwa wurud hadis bersangkutan yang lebih dikenal dengan istilah tanawwu’. Dalam kaitan ini maka
metode tematik diperlukan untuk untuk dapat menyelesaikan perbedaan riwayat
hadis yang disebabkan oleh perbedaan periwayatan.
F. Dilihat dari Segi Kualitas Hadis
Dilihat dari segi
kualitas hadisnya, hadis dapat dibagi kepada hadis sahih, hasan, dan daif.
Perbedaan kualitas hadis sangat berpengaruh pada kehujahan sebuah hadis dan selanjutnya berimplikasi pada perbedaan
pemahaman dan pengalaman sebuah hadis. Seseorang yang hanya berpegang pada
hadis yang berkualitas sahih atau hasn saja tentu akan mengabaikan hadis yang
hanya berkualitas daif. Sedangkan orang yang berpegang pada semua hadis tanpa
membedakn kualitas hadis – yang penting tidak disepakati untuk ditinggalkan –
berpegang pada seluruh hadis, baik yang sahih dan hasn maupun yang daif.
Jika demikian halnya, tidak menutup
kemungkinan adanya orang yang beranggapan telah melakukan sunnah atau hadis
Nabi padahal bukan. Dalam kaitan dengan perbedaan kualitas, maka metode tematik
diperlukan untuk menjelaskan kandungan hadis yang bersifat mengikat dan/atau
yang tidak mengikat.
G. Dilihat dari Segi Peristiwa (Wurud) Hadis
Berbicara tentang
peristiwa, maka tidak terlepas dari lima hal, yaitu pelaku atau subyek, obyek,
waktu, tempat, dan bentuk peristiwa. Perbedaan salah satu atau sebagian,
dan/atau keseluruhan hal tersebut sangat mempengaruhi ucapan dan sikap Nabi
Muhammad saw. Dengan demikian, perbedaan atau pertentangan kanduangan sebuah
hadis dilihat segi teksnya harus mempertimbangkan perbedaan wurud hadis.
Berebeda dengan kalangan ulama hadis
sebelumnya,[23]
syuhudi membagi hadis Nabi dalam kaitannya dengan latar belakang terjadinya
kepada tiga bagian, yaitu (1) hadis yang tidak mempunyai sebab secara khusus;
(2) hadis yang mempunyai sebab khusus; dan (3) hadis yang berkaitan dengan
keadaan. Yang sedang terjadi (berkembang).[24]
mengetahui tentang perbedaan peristiwa wurud hadis menjadi bagian yang urgen
dalam pengkajian hadis dengan metode tematik.
H. Dilihat dari segi Bentuk dan Cakupan Makna Hadis
Salah satu kekhususan
yang dimiliki oleh hadis Nabi adalah bahwa matan hadis memiliki bentuk yang beragam. Dilihat dari segi bentuk
matannya, hadis Nabi ada yang berupa jami’
al-kalim (ungkapan yang singkat, namun padat
makna), tansil (perumpamaan), ramzi (bahasa simbolik), dialok (bahasa
percakapan), qiyasi (ungkapan analogi), dan lain-lain.
Klasifikasi tersebut kadang tumpang tindih namun hal ini dimaksudkan untuk
menjelaskan kekhususan yang demikian oleh hadis Nabi.[25]
Perbedaan bentuk dan
cakupan makna sebuah hadis berimplikasi pada beragamnya pemahaman yang dapat
ditarik dari keragaman matan hadis. Dalam kaitan ini, maka metode tematik
diperlukan agar bisa menyelesaikan hal-hal yang bersifat kontradiksi antara
hadis yang satu dengan hadis lainnya.
I. Dilihat dari Segi Adanya Hadis Nabi yang Tampak Bertentangan
Pada prinsipnya,
adanya hadis yang tampak bertentangan tidak terlepas dari sejauhmana sesesorang
mamahami hadis-hadis Nabi pada setiap obyek pengkajian. Bahkan, perbedaan
pemahaman tersebut juga tidak terlepas dari beberapa segi yang telah dikemukan sebelumnya.
Dalam kaitan dengan metode tematik,
maka perlu melakukan rekonstruksi metode pemahaman, terutama kaitannya dengan
pengembangan teknik interpretasi dan metode pendekatan. Untuk itu, salah satu
tujuan rekonstruksi metode ini adalah bagaimana mengurangi pertentangan yang
terjadi di tengah masyarakat disebabkan oleh perbedaan riwayat yang
diperpegangi.
J.
Perkembangan Peradaban (IPTEK) dan Tuntutan Zaman
Berdasarkan firman
Allah Swt dalam Q.s. Saba: 28, bahwa Nabi Muhammad saw diutus seluruh ummat
manusia, tidak terkecuali umat sekarang dan umat berikutnya. Ini berarti bahwa
seharusnya Nabi tidak bertentangan dengan kemajuan peradaban dan tuntunan
zaman.[26]
Bukan sebaliknya, karena keterbatasan metode pengkajian yang digunakan sehingga
hadis nabi diabaikan dengan alasan tidak sejalan dengan tuntutan zaman atapun
hadis tersebut bertentangan dengan zaman.
Jika ada hal-hal yang sulit teratasi, maka
seharusnya hadis Nabi dapat menyelesaikan dan bahkan memberikan jalan keluar.
Salah satu faktor rekonstruksi metode tematik adalah untuk membuktikan bahwa
hadis Nabi dapat berlaku untuk setiap waktu dan ruang secara tanawwu’.Catatan:
Tulisan ini adalah Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. H. Arifuddin Ahmad, M. Ag.
[1] QS. al-Nisa’
(4): 80, al-Hasyr (59): 7, dan al-Nahl (16): 44.
[2] Suatu ketika
sayyidina Aisyah ditanya oleh seorang sahabat tentang akhlak Rasulullah, beliau
menjawab khuluquhu al-Qur’an. Lihat, Muslim Shahih Muslim. Juz I
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 512-513.
[3]Syafi’i, al-Umm.
Jilid VII (Beirut: Dar al-Fikr), h. 271
[4] Lihat:
Penerbit Ranaissan, “Pengantar “ dalam Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru
Memahami Hadis Nabi: Refleksi pemikiran pembayaran Prof. Dr. Muhammad Syuhudi
Ismail (Jakarta: Renaissan, 200....
[5] Bandingkan
dengan pengertian tafsir tahlili. Lihat: Abd. Muim Salim, “Metodologi
Tafsir: sebuah Rekonstruksi Epistemologi; Memantapka Keberadaan Ilmu Tafsir sebagai Disiplin Ilmu”
dalam Orasi pengukuhan Guru Besar (Makassar: Berkah Utami, 28 April
1999), h. 30
[6] Bandingkan
dengan pegertian Tafsir Muqaran. Lihat: Ibid., h. 31.
[7] Lihat:
Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qawaid al-Tahdis min Funun Mustalah
al-Hadis (Maktabah al-Nasyr al-Arabi, 1353 H), h.61.
[8] Lihat: Abu
‘Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Matn al-Bukhari Hasysyiyah
al-Sindiy (Bandung: Al-Ma’arif, t.th), juz I, h. 342-343.
[9] Al-Bukhari, op.
Cit., Juz I. h. 129.
[10] Ibid., h.
165
[11] Penelitian
sepintas tersebut dilakukan melalui CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Kitab
al-Salah, bab ma yuqalu ‘inda istiftah al-salah.
[12] Muslim, op.
Cit., Juz II h. 760
[13] Metode ru’yat
alh-hilal adalah metode penetapan awal bulan dengan menjadikan mata sebagai
alat utama. Penjelasan lebih rinci tentang metode ru’yat al-hilal lihat:
Ma’ruf Amin, “Ru’yah untuk menentukan awal dan akhir Ramadan menurut pandangan
Syari’at dan Sorotan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”. Dalam M. Salihat dan
Subhan, Ru’yah dan Teknologi: Upaya mencapai Kesamaan Pandangan tentang
Penentuan Awal Ramadan dan Syawal (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h.
19.
[14] Metode hisab
adalah metode yang menyajikan data dengan sistem perhitungan dengan menggunakan
kaidah-kaidah ilmu-ilmu ukur. Penjelasan tentang metode hisab, antara lain
lihat: Wahyu Widiana, Penentuan Awal Bulan Qamariyah dan Permasalahannya di
Indonesia’ dalam Khairul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim, Hisab Ru’yah dan
Perbedaannya (Jakarta: Depag RI, 2004), h.7.
[15] Mahmud
Syaltut, Islam ‘Aqidah wa Syari’ah (Kairo: Dar al-Qalam, 1966 M), h.
510.
[16] Menurut Yusuf
Qardawi, ulama yang pertama memberikan perhatian terhadap pembagian-pembagian
substansi sunnah adalah Imam Abu Muhammad Ibnu Qutaibah (w. 276 H), seorang
ulama ensiklopedis yang besar dan seorang pembela ahl al-sunnah yang tegar. Ia
telah menyebut masalah ini dalam kitabnya, Ta’wil Mukhtalif al-Hadits.
Ia membagi sunnah kepada tiga bagian, yaitu: 1) Sunnah yang dibawa oleh Jibril
a.s. dari Allah swt; 2) Sunnah yang diperbolehkan oleh Allah swt untuk
disunnahkan; dan 3) Sunnah yang berdimensi pengajaran saja. Lihat Yusuf
Qardawi, al-Sunnah Masdaran li al-Ma’arifah wa al- Hadarah (Kairo: Dar
al-Syuruq, 1417 H/1997 M), Terj. Oleh Abdul Hayyie al-Kattanie dan Abduh
Zulfidar, h. 44-49.
[17] Ibid.; Imam
Syihab al-Din al-Qarafi, al-Furuq, farq 36.
[18] Lihat: Ibid.,
h. 60
[19] Syuhudi, Hadis
Nabi Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam
yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1415 H/1994
M), h. 4 dan 33. Kedudukan Nabi saw. sebagai rasul dijelaskan, antara lain Q.S.
al-Fath/48:29; Sebagai manusia biasa Q.S. al-Kahfi/18:110 dan Ali Imran /3:
144; sebagai kepala negara dapat dilihat dari hasil penelitian W. Montgomery
Watt yang membedakan fungsi Nabi saw. sebagai Rasulullah dan sebagai kepala
negara (Mohammad Prophet and Statement, London: Oxford University Press,
1969; dan sebagai hakim dapat dilihat, misalnya Philip K. Hitti, History of
the Arab London: the Macmillan Press Ltd., 1974), h. 139.
[20] Ulama berbeda
pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadis secara makna namun umumnya ulama
hadis membolehkan dengan ketentuan-ketentuan, antara lain yang disepakati
adalah: Yang boleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang
benar-benar memiliki pengetahuan Bahasa Arab yang mendalam. Periwayatan secara
makna dilakukan karena sangat terpaksa. Yang diriwayatkan dengan makna bukanlah
sabda Nabi dalam bentuk bacaan yang sifatnya ta’abbudiy, misalnya zikir, do’a,
azan, takbir, dan syahadat, serta bukan sabda Nabi yang dalam bentuk jawami’
al-kalim. Periwayat yang meriwayatkan hadis secara makna agar menambahkan
kata-kata أو كما قال, atau أو نحو هذا, atau yang semakna dengannya, setelah menyatakan matan hadis
yang bersangkutan. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada
masa sebelum dibukukannya hadis-hadis nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan
(tadwin) hadis dimaksud, periwayatan hadis harus secara lafal. Lihat:
Syuhudi, Kaedah. H. 70-71.
[21] Lihat Ibid.,
h. 68
[22] Lihat:
Arifuddin Ahmad, op. Cit. H. 41
[23] Kalangan ulama
hadis membagi hadis Nabi dalam kaitannya dengan latar belakang terjadinya
kepada hadis yang memiliki sebab khusus dan hadis yang tidak memiliki sebab
khusus. Hal ini dapat dipahami dari keterangan ulama dalam menerapkan metode
pemahaman terhadap hadis Nabi dilihat dari segi latar belakangnya, asbab
al-wurud, yakni: al-‘ibrah bi khusus al-Sabab la bi ‘umum al-lafaz aw
al-ibrah bi umum al-lafaz la bi khusus al-sabab.
[24] Syuhudi, Tekstual
dan Kontekstual, h. 49-69
[25] Ibid., h.
9.
[26]Salah satu
contoh kasus yang sampai sekarang belum ada kesepahaman adalah masalah
penetapan awal bulan, terutama awal bulan Ramadhan dan bulan Syawal. Penjelasan
tentang hadis yang berkaitan dengan penetapan awal bulan lihat kembali h.
10-11; lebih lanjut lihat: Ambo Asse. Penetapan Awal Bulan Ramadan &
Syawal: Kajian terhadap Landasan Teologis dan Filosofis (Makassar: Dar
al-Hikmah wa al-Ulum, 1427 H/2006M), h. 53-58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar