“I’ll pray that our president will be
successfull in guiding our nation”, (Metro TV, 07 Nopember 2012) demikian do’a Mitt Roomney yang
ditujukan pada Presiden Amerika yang terpilih untuk kedua kalinya, Barrack
Obama. Do’a tersebut bermakna bahwa Mitt Roomney mendo’akan kesuksesan Barrack
Obama dalam memimpin Amerika ke depannya, meskipun Mitt Roomney sendiri
mengalami kekalahan.
Negara sebesar Amerika membutuhkan
energi yang luar biasa dalam setiap acara pemilihan presiden. Bisa kita lihat
bagaimana euforia saat-saat pemilihan umum di negeri kita, demikian bahkan
mungkin jauh lebih gegap gempita yang terjadi di Amerika. Negara terbesar di
dunia saat ini itu mencurahkan segenap kekuatan untuk mensukseskan acara
tersebut.
Namun demikian meskipun segala
kekuatan telah dikeluarkan oleh kedua belah pihak—Demokrat dan Republik—yang berkompetisi, ke-‘ikhlas’-an
tercermin dari kedua belah pihak. Barrack Obama ‘ikhlas’ menerima
kemenangannya, Mitt Roomney juga ‘ikhlas’ menerima kekalahannya.
Ada tiga point penting paling tidak
yang bisa kita petik dari peristiwa tersebut. Pertama, lihatlah ketika
Roomney mengatakan: ‘I’ll pray’, ungkapan ini memperlihatkan kepada kita—tidak peduli
apakah itu hanya kamuflase atau tidak—bahwa seorang Mitt Roomney yang berasal
dari negara yang ‘tidak begitu peduli’ dengan Tuhan, tetap memanjatkan do’a. Do’a
adalah sebuah harapan yang tidak hanya melibatkan diri sendiri, tapi juga ada
intervensi Tuhan di dalamnya. Mari kita pertanyakan pada diri kita sendiri:
sudahkah kita yang hidup di negeri yang ber-Tuhan ini menengadahkan tangan
meminta bantuan pada-Nya? Apakah kita sudah merasa sombong dan merasa sudah
terpenuhi semua kebutuhan kita? Dalam Islam kita sering mendengar kalimat ‘al-Du’a
sillat al-mi’minin’ (do’a adalah senjata bagi orang mukmin). Mungkinkah
kekalahan orang-orang Islam akhir-akhir ini berhubungan dengan kurangnya mereka
berdo’a? Hanya Tuhan yang Maha Tahu.
Kedua, penggalan kalimat lanjutan dari
Roomney: ‘that our president will be successfull...’ (semoga presiden kita
berhasil...), mempertontonkan kepada kita bagaimana Roomney yang telah kalah
itu tetap memberikan penghormatan kepada Barrack Obama lalu mendo’akannya untuk
meraih keberhasilan. Alangkah indahnya negeri ini jika yang kalah tetap
menunjukkan kerelaannya menjadi yang kalah dan yang menang menunjukkan
kerendahhatiannya ketika ia dapat meraih kemenangannya. Tontonan yang
diperlihatkan oleh kedua kandidat presiden Amerika itu bukan tidak mungkin
berimbas sangat positif pada perjalanan Amerika di masa selanjutnya. Rakyat Amerika
akan merasakan hal yang sama dengan orang-orang yang mereka dukung. Perhatikan
juga pidato kemenangan Barrack Obama yang selalu menekankan kebersamaan
(togather we can) itu. Aura positif telah menular pada seluruh rakyat Amerika dari tontonan yang mereka
lihat. Alangkah indahnya jika hal itu terjadi di negeri yang kita cintai ini.
Kita bisa bayangkan yang terjadi pada kita ketika, andaikan saja dulu pada
pemilihan presiden tahun 2004 dan 2009, Ibu Megawati Soekarno Putri langsung
menjabat tangan dan mendo’akan keberhasilan presiden terpilih Susilo Bambang
Yoedoyono. Andai saja itu terjadi, saya yakin geseran-geseran (bahkan mungkin
permusuhan) antara pengikut dua partai besar PDI-Perjuangan dan Demokrat tidak ‘terlalu
mencemaskan’. Banyaknya pertengkaran dan perang pada masyarakat kita adalah
hasil dari tontonan yang mereka lihat. Begitu banyak tayangan televisi dan
berita-berita di media massa lainnya yeng memperlihatkan aura permusuhan antara
satu elit politik dengan yang lainnya. Maka perubahan kepada kebaikan juga
memang harus tersebar dengan baik, barulah kebaikan itu dapat dicapai. Islam
menekankan khalil (teman) dalam pergaulan. Dengan siapa kita berteman, gaya
mereka pula yang akan kita lakukan, al-Mar’u ‘ala al-Din Khalilih
(seseorang itu berdasarkan pada agama teman mereka).
Ketiga, penggalan
kata terakhir dari kalimat Roomney ‘...in guiding our nation’ (dalam
mengarahkan bangsa ini), menunjukkan kepada kita betapa Roomney mengagungkan
dan bangga kepada bangsanya, bangsa Amerika. Kalimat serta do’a yang diucapkan
oleh Roomney ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang negarawan sejati. Sebagai seorang
negarawan, permusuhan tidak harus terjadi baik ketika sedang berkompetisi atau
setelahnya. Lihatlah betapa sengit pertarungan antara Barrack Obama dan Hillary
Clinton pada saat pemilihan calon presiden fase pertama kemenangan Barrack
Obama. Namun demikian, setelah Obama menanang ia tetap merangkul Hillary
menjadi menteri luar negerinya. Tidak ada istilah ‘selagi kulit hitam menang,
kita tindas kulit putih’. Agaknya ini kontras dengan apa yang terjadi di negeri
yang kita sayangi ini. Semoga beberapa hal ini dapat terjadi dan kita contoh
pada masa-masa kita yang akan datang, amin.